PortalArjunaJatim. Ditahun 2016, tak sedikit tantangan dan peluang yang harus dihadapi Yudharta dalam menyosong masa depan. Faktanya regulasi dari dikti terkait standarisasi perguruan tinggi yang labuda hukumnya dimplementasikan, menuntut Yudharta untuk rapatkan barisan, dengan melakukan perombakan structural yang memposisikan dosen bergelar doctor dijajaran Rektorat, serta mendudukan stakeholder internal lainya dikursi yang sinergi dengan kompetensi masing-masing. Termasuk menyiapkan dosen-dosen professional yang berNIDN sebagai pengajar tetap Yudharta, agar nantinya tak senasib seperti beberapa perguruan tinggi yang izin operasinya dicabut oleh lembaga negara terkait. Bahkan berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun penulis bahwa salah satu Program studi UYP sempat hampir dinonaktifkan, beruntung krisis tersebut, segera ditangani dengan menyeimbangkan kuantitas mahasiswa dan tenaga pengajar dengan berusaha semaksimal mungkin agar mahasiswa yang menjamur dapat segera menyelesaikan tanggung jawabnya, membatasi kuota mahasiswa baru 2015 disamping menambah dosen pengajar dikampus swasta ini.
Eksistensi swasta bukan berarti bernilai minus bagi Yudharta, sebab ia berada dinaungan Pondok Pesantren Ngalah, tentu dengan kondisi tersebut, lembaga pendidikan tertua ini, tidak ada halangan untuk mengintervensi ikut serta mewarnai perkembangan Yudharta. Dan tidak heran jika masyarakat mengatakan kuliah di Kyai Soleh. Bagi mahasiswa yang menempuh gelar sarjana disana, sebab bukan lain ditangan KH Soleh Bahrudinlah kampus berjargon The Multicultural University hadir ditengah-tengah kita.
Label kampus multicultural tidaklah mudah disandang tanpa semangat nasionalis ,Religius karena dalam diskursus perkembangan pemikiran agama kontemporer, isu radikalisme, terorisme, multikulturalisme, dan pluralisme menjadi isu penting dalam dua dasawarsa terakhir. Diskursus tersebut menjadi semakin aktual jika dikaitkan dengan tragedi teror sarinah Jakarta 14/01/2016 yang memakan beberapa korban termasuk pelaku teror yang diduga bagian dari militan ISIS. Fenomena tersebut tentu sangat bertentangan dan menjadi peluang bagi Yudharta masa depan, yang telah membuka Program Pasca Sarjana khususnya Pendidikan Islam Multicultural. Karena pendidikan semacam inilah yang mungkin dibutuhkan dalam meredam konflik radikalisme dunia.
Melihat realita tersebut, harapannya Yudharta masa depan akan semakin gemilang, karena secara terbuka Yudharta berani menentang gerakan radikalisme, salah satu buktinya adalah komunikasi yang mengarah terhadap tindakan deradikalisme termasuk beberapa resolusi yang telah diterbitkan, juga pertemuan antar tokoh lintas agama dengan misi Perdamain Dunia sebagai wujud respon baik Yudharta menolak radikalisme misalnya Seminar kebangsaan 2010, live in Pesantren, gereja dan sebagainya. Seyogyanya hal ini perlu diimbangi dengan motivasi internal kampus (pegawai, staf, dosen, etc) karena meskipun stakeholder ekstrnal sudah merespon baik akan tindakan Yudharta tapi jika stakeholder internal masih egois dengan dirinya sendiri/lebih mempertimbangkan kepentingan pribadi tentu keadaan ini tidak mendorong progresif Yudharta. Katakanlah para dosen yang masih berstatus mahasiswa S2/S3 dikampus lain, maka hal ini harus diperhatikan betul, meskipun toh akhirnya berimplikasi positif terhadap eksistensi kampus tetkala prediksi penulis andai kata pemerintah membuat kebijakan yang semakin tajam bagi perguruan tinggi. Terlebih regulasi bagi kampus swasta seperti Yudharta.
Yudharta dalam mengimplementasikan jargon The Multicultural University tentu butuh tahapan dan proses panjang,serta cost yang tak terhitung nilainya. Apalagi melihat Yudharta yang berdiri sejak 2002 ini tentu tidak suportif jika membandingkannya dengan kampus berfasilitas dan berlabel Negeri yang beroperasi sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Meski demikian bukan berarti minder justru diusianya yang terhitung belia, prestasi Yudharta dimata dunia sangat signifikan, hal ini dapat dibuktikan dengan serangkaian partisipasinya dalam mencerdaskan anak bangsa serta andil menjaga kelestarian perdamaian dunia termasuk beberapa opini tokoh-tokoh perdamaian dunia yang begitu kagum dengan Yudharta dan pendirinya. Oleh sebab itu sebagai kader kampus tersebut mahasiswa harus memahami pesan multicultural yang menjadi brand image dengan mengajukan beberapa pertanyaan diantaranya apakah kontruksi makna multicultural/pluralisme bagi Yudharta? apakah hanya sekedar label semata?, Atau hanya sekedar perang konsep dan pemikiran untuk merebut pangsa pasar? Atau mungkinkah jika multicultural yang diusung yudharta searah dengan persepsi penulis, jika demikian beranikah Yudharta mendirikan Program Studi Agama Kristen, Prodi Agama Hindu, Budha, Konghucu dll?. Mohon kita renungkan sejenak untuk Yudharta Masa Depan. (MuslimAlfaqoth)