Portalarjuna.net, Purwosari – Umayyah bin Abī as-Ṣalt ( bahasa Arab : أمية بن أبي الصلت ) adalah seorang penyair Arab pra-Islam yang dikenal karena advokasinya terhadap monoteisme dan penolakan terhadap penyembahan berhala. Ia berasal dari suku Banu Thaqif dan memiliki garis keturunan Quraisy dari pihak ibu.
- Siapakah Kaum Hanif?
Hanif adalah sebutan bagi orang-orang Arab sebelum Islam yang mengikuti ajaran tauhid. Mereka menolak penyembahan berhala yang menjadi tradisi mayoritas masyarakat Arab pada masa itu. Kaum Hanif dikenal sebagai pencari kebenaran yang berpegang pada keyakinan monoteistik meski hidup di tengah lingkungan paganisme.
Di antara tokoh terkenal dari kaum Hanif adalah Zaid bin Amr bin Nufail, Warakah bin Naufal, dan Umayyah bin Abi Al-Salt. Mereka menolak penyembahan berhala, berpuasa, berdoa kepada Allah, dan percaya pada hari kebangkitan. Namun, salah satu dari mereka yang menolak secara terang-terangan tentang kenabian Muhammad adalah Umayyah bin Abi al-Salt.
- Umayyah bin Abi Al-Salt: Sosok yang Merasa Tertinggal
Ummayah bin Abi al-Salttampil sebagai penyair terkemuka pada masa pra-Islam dengan keyakinan kuat terhadap ajaran Hanif. Orang-orang mengenalnya sebagai pemikir dan penyair yang mendalami nilai-nilai ketauhidan. Namun, rasa kecewa menghantui dirinya karena ia berharap menjadi nabi tetapi justru mendapati Muhammad yang diangkat menjadi utusan Allah.
Dikutip dari Kitab Al-Aghani, Vol III, Hal 180-184, dalam syairnya yang penuh kekecewaan, Umayyah mengungkapkan perasaan itu dengan lirik berikut:
كَانَ دِيْنُ يَوْمَ القِيَامَةِ عِنْدَ اللَّهِ إِلَّا دِيْنَ الحَنِيْفِيَّةِ زُوْرٌ
“Kullu diinin yaumal qiyāmati ‘indallāhi illa dīna al-Hanīfiyyati jūrun.”
(“Setiap agama pada hari kiamat di sisi Allah akan hancur, kecuali agama Hanif.”)
Syair ini mencerminkan keyakinan kuat Umayyah terhadap ajaran Hanif sebagai kebenaran yang hakiki. Meski demikian, ia masih meragukan kenabian Muhammad. Hal ini terlihat dalam syair berikut:
وَهَذِهِ الْمَرْضَةُ مُنِيَّتِي، وَأَنَا أَعْلَمُ أَنَّ الحَنِيْفِيَّةَ حَقٌّ، وَلَكِنَّ الشَّكَّ يَدْخُلُنِيْ فِيْ مُحَمَّدٍ
“Wa hādzihi al-mardhatu muniyāti, Wa anā a’lamu anna al-hanīfiyyata haqqan, wa lākina syakka yudkhiluni fī Muhammad.”
(“Penyakit ini sudah menjadi nasibku. Saya tahu bahwa agama Hanif adalah benar, tetapi tentang Muhammad aku ragu-ragu.”)
Syair tersebut menampilkan dilema batin Ummayah yang mengakui kebenaran tauhid tetapi tidak mampu menerima kenabian Muhammad. Sikap ini menjauhkan dirinya dari komunitas Muslim awal yang berkembang pesat.
Ummayah bin Abi al-Salt akhirnya meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam pada tahun 626 Masehi, meskipun ia sangat mengharapkan menjadi nabi yang diutus. Sikapnya yang tetap teguh pada keyakinan Hanif tanpa menerima kenabian Muhammad menunjukkan besarnya pergolakan batin yang ia alami.
Kisah Ummayah bin Abi al-Salt menunjukkan bagaimana ambisi dan harapan pribadi membentuk sikap seseorang terhadap kebenaran. Meskipun memiliki pengetahuan mendalam dan keyakinan yang kuat, terkadang penerimaan terhadap kenyataan justru menjadi ujian terbesar dalam hidup seseorang.
Author: Muhammad Iqbal Sya’bani