PortalArjuna.net, Pasuruan – Ketika tahun Jawa berganti, suasana di jantung Kota Yogyakarta berubah menjadi hening dan sakral. Setiap malam 1 Suro, ribuan orang berkumpul di sekitar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mereka datang bukan untuk berpesta, melainkan mengikuti ritual keheningan yang sarat makna:Mubeng Beteng.
Tradisi Keraton
Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman para sultan terdahulu. Pada masa itu, hanya keluarga Sri Sultan dan abdi dalem (pegawai keraton) yang melaksanakannya. Namun kini, keraton membuka pintu bagi masyarakat luas. Warga lokal hingga wisatawan dari luar daerah dapat ikut merasakan pengalaman spiritual ini, asalkan tetap menjaga kesopanan dan kesakralannya.
Prosesi Mubeng Beteng
Para peserta berjalan kaki sejauh 5 kilometer mengelilingi tembok Beteng Baluwarti, yang membatasi wilayah inti Keraton Yogyakarta. Mereka tidak sekadar berjalan. Prosesi ini dilakukan dengan tapa bisu tanpa bicara, tanpa alas kaki, dan tanpa membawa penerangan. Ini adalah bentuk tirakat yang disebut lampah ratri, atau perjalanan malam untuk bermunajat kepada Sang Pencipta.
Rangkaian Acara Sebelum Mubeng
Mengutip situs kebudayaan.jogjakota.go.id, prosesi dimulai dengan doa bersama untuk menutup tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru. Peserta kemudian menyanyikan tembang Macapat. Setelah itu, Kanjeng Kyahi Penghulu ulama tinggi di lingkungan keraton memberikan restu. Tepat tengah malam, para peserta mulai berjalan dalam keheningan.
Makna di Balik Keheningan
Lebih dari sekadar tradisi turun-temurun, Mubeng Beteng membawa pesan mendalam. Tradisi ini mengajak peserta untuk merefleksi dan mengevaluasi perjalanan hidup selama satu tahun terakhir. Dalam diam, mereka memohon ampun, perlindungan, dan menata tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Doa Perlindungan untuk Yogyakarta
Berjalan mengelilingi benteng juga bermakna sebagai bentuk doa perlindungan, tidak hanya bagi keraton, tetapi juga untuk seluruh masyarakat Yogyakarta. Tradisi ini menciptakan suasana khidmat yang kontras dengan perayaan tahun baru masehi yang biasanya meriah dengan kembang api.
Menjaga Warisan, Menemukan Makna
Dalam keheningan malam 1 Suro, Mubeng Beteng terus hidup sebagai warisan budaya yang sarat makna. Tradisi ini bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga menghadirkan ruang spiritual. Melalui ritual ini, masyarakat dapat kembali menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan, dengan diri sendiri, dan dengan Tuhan.
Author : Putri Rissyafni













