Portalarjuna.net, Pasuruan – Desa Candibinangun, Kecamatan Sukorejo, Rabu (30/07/2025) lahir dari sejarah runtuhnya candi di perbatasan Kalirejo. Awalnya disebut Candirubuh, pada 1970-an namanya diganti menjadi Candibinangun yang bermakna membangun kembali. Perubahan ini bukan sekadar administratif, melainkan simbol kebangkitan, persatuan, dan semangat hidup masyarakatnya.
Pemukiman awal masyarakat dimulai dari Dusun Krajan I, tempat yang hingga kini masih menjadi pusat sejarah dan spiritual warga. Di sana berdiri petilasan leluhur yang diyakini sebagai titik awal berdirinya desa. Dari sinilah berkembang dusun-dusun lain seperti Montok, Kedung Likit, dan Kedung Banteng. Seiring waktu, kehidupan sosial masyarakat juga terbentuk dengan berbagai tradisi, mulai dari tahlil dan manaqib hingga kesenian khas seperti gebluk bantal, alat musik dari bantal yang dimainkan di acara tertentu. Tradisi ini mungkin sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan yang dalam. Di tengah arus modernisasi, nilai kebersamaan inilah yang berusaha terus dijaga oleh warga Candibinangun.
Sejarah desa ini juga tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh agama. Salah satu yang paling dikenal adalah Mbah Bujuk Nasak, seorang murid Sunan Gunung Jati dari Madura. Menurut cerita tutur, ia datang ke Candibinangun dengan cara yang penuh keajaiban, yaitu menaiki seekor ikan raksasa yang kemudian menjelma menjadi batu. Hingga kini makamnya tetap diziarahi dan dihormati, menjadi pengingat bahwa perjalanan spiritual ikut mewarnai perjalanan sejarah desa. Dari para tokoh inilah nilai religius dan sosial ditanamkan, hingga membentuk wajah masyarakat Candibinangun yang kita kenal sekarang.
Dari segi pemerintahan, kepemimpinan desa mengalami banyak perubahan. Nama-nama kepala desa silih berganti sejak masa pra-kemerdekaan hingga sekarang, dengan gaya kepemimpinan yang juga berubah mengikuti zaman. Dari sistem yang masih tradisional, kini pemerintahan desa lebih modern dan terstruktur, seiring masuknya infrastruktur, listrik, dan pembangunan fasilitas publik. Balai desa yang dulu sederhana kini menjadi pusat pelayanan dan kegiatan masyarakat. Semua perubahan ini menunjukkan bahwa Candibinangun adalah desa yang terus belajar dan beradaptasi tanpa meninggalkan akarnya.
Namun, jika bicara tentang identitas ekonomi, Candibinangun hampir selalu identik dengan tape. Dari sudut-sudut rumah di Dusun Krajan I, aroma tape rebus masih sering menyeruak, mengingatkan pada perjalanan panjang usaha masyarakat yang dimulai sejak 1950-an. Awalnya tape dibuat dari ketan hitam, kemudian beralih ke singkong karena lebih praktis dan lebih disukai pasar. Pergeseran ini bukan sekadar urusan selera, tetapi juga bentuk adaptasi terhadap keterbatasan bahan baku dan tuntutan zaman.
Sekitar tahun 1965, tokoh-tokoh seperti Pak Rahmani dan Pak Jalil mulai menjadi pelopor usaha tape, mendorong lahirnya sistem ekonomi berbasis produksi rumahan. Dari pikulan sederhana, distribusi tape perlahan berkembang hingga menggunakan sepeda motor, dan akhirnya bisa menjangkau kota-kota besar. Pada tahun 2000-an, tape Candibinangun mencapai masa kejayaan, ketika promosi dan pemasaran semakin gencar dilakukan. Saat itu, hampir semua warga terlibat, entah sebagai produsen, pedagang, atau pekerja yang ikut membantu proses produksi.
Hingga kini, Dusun Krajan I diakui sebagai sentra tape dengan pasokan singkong yang mencapai puluhan ton per hari. Proses produksi tape Candibinangun punya ciri khas tersendiri, yakni direbus, bukan dikukus seperti tape Bondowoso. Cara ini membuat tape lebih cepat siap dipasarkan, meskipun daya tahannya lebih singkat. Namun, justru itulah yang membuat tape Candibinangun terasa lebih segar dan sesuai dengan ritme konsumsi masyarakat. Dalam 2–3 hari, tape dalam kemasan sederhana biasanya sudah habis di pasar tradisional.
Kemasan tape juga ikut mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Dulu, kresek sederhana yang disebut “manohara” menjadi pilihan utama. Kini, produsen mulai menggunakan mika atau kardus untuk pasar yang lebih luas. Mika dipilih untuk segmen wisata karena tampil lebih higienis, sementara kardus dipakai untuk kebutuhan oleh-oleh atau pesanan khusus. Perubahan kemasan ini bukan hanya soal tampilan, tetapi juga strategi pemasaran yang membuat tape semakin punya nilai tambah.
Sistem distribusi tape pun semakin berkembang. Dari penjualan langsung di pasar, kini merambah ke agen, toko oleh-oleh, bahkan platform online seperti Facebook, TikTok, dan website kemitraan. Produsen tidak hanya menjual, tetapi juga mulai memperhatikan branding, higienitas, dan komunikasi dengan konsumen. Bahkan limbah kulit singkong pun dimanfaatkan untuk pakan ternak, menunjukkan betapa usaha ini benar-benar mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Tape Candibinangun kini tidak hanya dikenal di Pasuruan, tetapi juga menembus pasar Surabaya, Malang, hingga kota-kota lain. Pesanan besar untuk acara pernikahan, hajatan, dan toko oleh-oleh menegaskan bahwa tape sudah menjadi produk ekonomi strategis desa. Dari yang awalnya sekadar makanan rumahan, kini ia telah menjelma menjadi simbol identitas lokal sekaligus sumber ekonomi yang memperkuat ketahanan masyarakat.
Kisah desa dan kisah tape sejatinya berjalan beriringan. Sejarah Candibinangun yang lahir dari runtuhnya sebuah candi dan kemudian bangkit kembali, seolah tercermin dalam kisah tape yang terus bertahan di tengah perubahan zaman. Sama-sama sederhana, sama-sama lahir dari keterbatasan, tetapi justru di sanalah letak kekuatannya. Tape bukan sekadar makanan, melainkan napas ekonomi yang menyatukan masyarakat. Candibinangun sendiri bukan sekadar desa, melainkan ruang hidup yang memelihara tradisi sekaligus berani beradaptasi dengan dunia modern.
Dari sejarah panjang itu, kita belajar bahwa menjaga akar bukan berarti menolak perubahan. Candibinangun dengan tapenya adalah bukti bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan inovasi. Desa ini tumbuh dari reruntuhan, tetapi kini berdiri kokoh dengan identitasnya. Tape lahir dari proses sederhana, tetapi kini menjadi pintu rezeki banyak keluarga. Keduanya adalah kisah ketekunan dan kebersamaan yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Author: Yhesica Nur Aura