Pasuruan, Jawa Timur
Minggu, 28 Desember 2025

Jejak Sinkretisme di Kaki Arjuno: Menyusuri Sejarah Panjang Candi Jawi

Portalarjuna.net, Pasuruan- Di lereng timur Gunung Arjuno, udara pagi bergerak pelan, membawa aroma tanah basah dan desir angin yang menyapu pepohonan. Dari kejauhan, siluet Candi Jawi berdiri tegak di tengah hamparan hijau, seakan menyambut siapa pun yang melangkah mendekat. Bangunan batu setinggi hampir 24 meter itu tidak hanya menjadi penanda geografis Prigen, ia adalah saksi bisu perjalanan panjang politik, keagamaan, dan kebudayaan Jawa Timur sejak abad ke-13.

Ketika matahari mulai naik, rombongan wisatawan terlihat mendekat. Sebagian berhenti untuk memotret detail batuukir, sebagian lagi memilih duduk di tepi kolam yang mengelilingi kompleks candi. Namun bagi Sumadi, penjaga situs yang mengenal setiap lekuk bangunannya, Candi Jawi bukan hanya tempat wisata. Ia adalah teks sejarah terbuka yang selalu ia baca ulang setiap hari.

“Candi Jawi ini sejarah dari era Singosari, dibangun oleh Raja Kertanegara pada abad ke-13. Membangun candi ini bertujuan untuk mempersatu Nusantara dari dualisme agama,” ujar Sumadi saat ditemui di pelataran candi Jawi pada 20/11/25, mengingatkan bahwa candi ini berdiri di masa ketika Kerajaan Singosari sedang memperluas pengaruhnya.

Dalam catatan sejarah, Raja Kertanegara dikenal sebagai pemimpin yang memiliki visi politik dan spiritual yang kuat. Ia berupaya membangun kesatuan budaya melalui konsep sinkretisme yakni penggabungan unsur Hindu dan Buddha yang pada masanya kerap dipandang berbeda. Jejak pemikiran itu tampak jelas pada arsitektur Candi Jawi. “Arsitektur bangunan candi ini menggambarkan Hindu-Buddha,” kata Sumadi sambil menunjuk bagian kaki candi yang khas corak Hindu dan puncaknya yang bernafaskan Buddha.

Di balik arsitekturnya yang indah, Candi Jawi menyimpan cerita tentang dinamika kekuasaan. Menurut Sumadi, perjalanan panjang candi ini tidak pernah terlepas dari konflik dan perubahan politik. “Candi ini pernah diteruskan era Majapahit, pernah diserang pasukan Mongol, pernah diserang dari Kediri,” tuturnya. Sejarah mencatat bahwa masa akhir Singosari ditandai dengan serangan dan pergolakan yang membuka jalan bagi lahirnya Kerajaan Majapahit. Candi Jawi, yang berada di rute strategis antara pedalaman dan pesisir, ikut merasakan gelombang peristiwa itu.

Meski berbagai era telah berlalu, bentuk fisik Candi Jawi tetap menjadi simbol kebertahanan budaya. Batu-batu andesitnya yang tersusun presisi terasa dingin ketika disentuh, seakan menyimpan memori ratusan tahun. Di beberapa titik, relief-relief yang menggambarkan kehidupan masa lampau masih tampak samar. Detailnya tak selalu utuh, tetapi cukup untuk memberi gambaran tentang estetika dan keyakinan masyarakat Singosari. Pada sisi-sisi tertentu, lumut yang tumbuh tipis justru menambah kesan bahwa bangunan ini hidup bersama waktu, bukan sekadar peninggalan yang beku.

Yang menarik, nama “Jawi” sendiri ternyata bukan nama awal. “Dulu namanya Jajawa, sekarang jadi Jawi. Itu saya kurang paham, mungkin sudah modernisasi… dan juga dikaitkan dengan legenda Putri Jawi,” jelas Sumadi. Pergeseran nama ini kerap membuka perdebatan — apakah perubahan itu murni bagian dari perkembangan bahasa, pengaruh kolonial, atau hasil tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun. Beberapa peneliti bahkan menyebut nama “Jajawa” dalam prasasti sebagai penanda wilayah suci yang strategis, menunjukkan bahwa candi ini mungkin pernah memiliki fungsi yang lebih luas dari sekadar tempat ibadah.

Selain sejarah resmi yang tercatat dalam naskah kuno, masyarakat sekitar juga menyimpan banyak kisah. Beberapa menyebut Candi Jawi sebagai tempat menyepi para pertapa. Ada pula yang percaya bahwa lingkungan candi menjadi batas antara dunia manusia dan alam spiritual. Meski tidak dapat diverifikasi secara akademik, cerita-cerita ini menjadi bagian dari identitas budaya yang hidup hingga kini. Setiap kali ritual adat atau kegiatan keagamaan digelar di sekitar candi, narasi-narasi itu kembali muncul, menegaskan bahwa sejarah tidak hanya tersimpan dalam batu, tetapi juga dalam ingatan kolektif masyarakat.

Pada sore hari, bayangan candi memanjang ke sisi taman, menutup perjalanan para pengunjung yang datang silih berganti. Anak-anak berlarian di rerumputan, sementara beberapa wisatawan duduk menatap bangunan tua itu dalam diam. Di tengah hiruk-pikuk pariwisata modern, Candi Jawi seperti menawarkan ruang hening, ruang yang menghubungkan masa kini dengan abad-abad yang telah pergi.

Candi Jawi bukan hanya bangunan batu. Ia adalah narasi tentang diplomasi keagamaan, strategi kekuasaan, pergulatan politik, dan warisan sinkretisme Nusantara. Setiap batu yang tersusun di tubuhnya menyimpan suara panjang peradaban yang pernah berjaya. Dan selama angin masih bertiup dari lereng Arjuno, kisah itu akan terus bergema, menunggu siapa pun yang siap mendengarnya.

Author: Aisyah Ummul Mukminin

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tulisan Terakhir

Advertorial