Pondok Pesantren DARUMAFATIHIL ULUM atau lebih simpelnya kita kenal denga sebutan DMU (baca; de-em-u) terletak di Dusun/Pedukuan Podokaton Desa Bayeman Kecamatan Gondangwetan dalam wilayah Kabupaten Pasuruan, berjarak + 20 KM arah tenggara dari kota Pasuruan, dengan luas 2 H Pondok pesantren Darumafatihil Ulum ini dalam sejarah perkembangannya mempunyai beberapa fase :
fase merintis. Dimulai dengan pendiriannya yaitu pembabatan alas dan di bangunnya musolla dengan luas 6 x 8 M oleh KH Zainal Abidin pada tahun 1784 atau sekitar berumur 226 tahun dihitung sejak berdirinya Musolla. Dihitung dari KH. Zainal Abidin. Namun, Kalau dihitung dari Mbah Azkiya’ Kakek dari KH. Zainal Abidin Maka Pondok Pesantren Darumafatihil Ulum ini berumur lebih dari itu. Karena dalam sejarahnya Mbah Azkiya’ (Putu dari Mbah Sakaruddin Keboncandi termasuk Putra dari Mbah Soleh Semendi) ini yang pertama kali membabat alasan didaerah Podokaton 100 M dari Pondok Pesantren Tepatnya Kampung Kejeron dengan membangun Masjid yang sekarang bernama Masjid Azkiya’, Mbah Zainal Abidin Sebagai putu merupakan ahli waris dari Mbah Azkiya’, dan Mbah Zainal Abidin asal Dalemnya Juga di Kejeron Timur sendiri paling dekat dengan Jalan Raya Podokaton namun kerena Mbah Zainal Abidin Yang Umurnya waktu itu Masih Muda tapi kealimannya sudah tersohor kemasyarakat luas Mbah Zainal memilih untuk pindah konon beliau khawatir dikatakan hadang-hadang tamu, soalnya dibarat dalem beliau mayoritas para kiyai, akhirnya beliau pindah. Nah kalau kita hitung dari Mbah Azkiya’ Maka Umur Pondok Pesantren ini sekitar tiga ratus enam puluh (360) tahun dihitung sejak keberadaan santri (dengen prediksi umur Kiyai Suhadak dan Mbah Azkiya’.
Mbah Zainal Abidin pertama kali Memulai penyalenggaraan pendidikan pondok pesantren Darumafatihil Ulum ini hanya bergerak dalam bidang pengajian Al-Quran dan sejumlah kitab-kitab klasik tentang tata cara beribadah serta akhlak dalam kehidupan sehari-sehari dengan jumlah santri 30 orang yang rata-rata berumur 35 tahun, maklum pada Zaman Penjajah waktu itu masih mines pendidikan dan harus sembunyi-sembunyi dari para penjajah.
fase pengembangan I dimulai dengan bergantinya pengasuh waktu itu, dari KH Zainal Abidin ke KH. Nizdhomuddin (anak tertua) Namun tidak lama KH Nizdhomuddin wafat dan di gantikan oleh adiknya yang baru datang mondok di Mekkah Al Mukarromah Yaitu Mbah KH Moh Nur salim.
Ketika kepemimpinan di pegang oleh Mbah KH Moh Nursalim pondok pesantren Dadrumafatihil Ulum ini mulai berbenah diri untuk mencari jati dirinya dari sini pula jumlah santri lambat laun mulai meningkat dan mulai membangun sebuah asrama pemukiman santri di selatan dan utara musolla yang terbuat dari bambu (gedhek) terdiri beberapa kamar dengan ukuran yang sempit lebar ± 1 M panjang ± 2 M konon agar santri tidak suka tidur, Memang dengan ukuran yang sekian santri akan sulit untuk tidur (harus Melungker). dan sekarang asrama gedhek tersebut hanya tinggal di utaranya musolla saja dan masih terawat dengan baik. asrama tersebut banyak sekali meninggalkan kenangan dari mbah Nur salim salah satunya adalah dauh beliau yang tinggal di kamar nomer dua dari timur akan menjadi kiayi, dawuh beliau kepada salah satu santri “nak ojok ngaleh ngaleh teko kamar iki lek pingin dadi kiai”(anak ku jangan pindah pindah dari kamar ini kalau kamu ingin jadi kiai) s dan ternyata memang terbukti bahwa santri yang pernah tinggal di kamar itu dizaman Mbah Nur Salim menjadi kiai ada juga kamar tinggalan Mbah Nur salim yang unik, dimana kalau santri menghafalkan di kamar itu akan cepat hafal dawuh mbah Nur pada santri nya “seng meneng kamar iki lek apalan cepet apal”(yang tinggal di kamar ini kalau hafalan akan cepat hafal) dan santri yang tinggal dikamar itu memang merasakan kalau hafalan itu akan cepat hapal.
System yang diajarkan waktu itu mulai di tambah dengan mengadakan pengajian kitab kelasik (kitab kuning) yang diasuh langsung oleh KH Nur Salim dan dibantu oleh KH Dahlan dan KH Nawawi (mantu KH Nidzomuddin) , KH. Nizar Rojogunting sebagai santri senior dan juga dibantu oleh putra Mbah Nur Salim yang masih muda yaitu KH DJasim Nur dengan mengadakan metode sorogan kitab seperti awwalu, sullam, jurmiyah dll, karena Dulu, rata-rata pesantren hanya mengenal metode pengajaran (ta’liem) model 1.Bandongan (kiai yang aktif membaca kitab dan para santri mendengarkan sambil ngesahi, menulis makna lafal-lafal sesuai yang didengar dari sang kiai) dalam halqah (keriungan santri mengelilingi sang kiai); dan 2. Sorogan (santri yang aktif membaca kitab, kadang menuliskannya, dan menerangkannya di depan kiai). Tidak ada klas, kurikulum dan syllabus atau Tingkat-tingkat biasanya hanya ditentukan oleh kitab-kitab yang diajarkan; misalnya untuk Nahwu dan Fikih, dimulai dari tingkat Jurumiyah (kitab dasar nahwu) dan Sullam Safienah (kitab dasar fikih), tingkat ‘Imrithy dan Taqrieb, tingkat Alfiyah dan Fathul Mu’ien, tingkat Ibnu ‘Aqiel dan Fathul Wahhab, dst. Bahkan Metode ini Oleh Mbah KH. Djasim Nur diteruskan sampai beliau wafat, setiap ba’da dhohor yang sekarang diteruskan oleh mantu beliau KH. Ma’ruf Arifi
pondok pesantren Darumafatihil Ulum ini sejak berdirinya hingga sekarang masih berbentuk salaf dimana dalam system pendidikan atau pengajarannya tidak meninggalkan tradisi-tradisi salaf, maka dari itu pada mulanya pesantren ini bernama Pondok Pesantren SALAFIYAH namun oleh Mbah KH. Nur Salim diganti dengan Darumafatihil Ulum hingga sekarang.
Fase pengembangan ke II dan fase ini di tandai dengan terbangunnya madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1952 oleh KH Nur Salim, karena santri yang mengaji didalem beliau sudah tidak mencukupi. Pemasangan pondasi pertama kali dibantu masyarakat yang dihadiri olah camat gondangwetan waktu itu dan segenap masyarakat kecamatan gondangwetan. Dari banyaknya masyarakat yang datang mau cari tempat untuk memasang bata saja sangat sulit dan harus berebutan tutur P. Taqim yang termasuk salah satu sukarelawan, Dengan takbir tiga kali yang di komando oleh Mbah KH. Nur Salim dipasanglah pondasi pertama namun madrasah ini belum seratus persen selesai masih banyak perubahan disana sini
Seiring berkembangnya pondok pesantren Darumafatihil Ulum ini akhirnya di kenal luas oleh masyarakat dan KH Moh Nur saalim pun banyak tersita waktunya untuk pengajian diluar pesantren (santri luar pesantren). Tinggal KH DJasim Nur saja yang mengrusi pondok pesantren bahkan beliau sendiri sering pengajian keluar pesantre membantu ayahandanya karna usia Mbah Nur Salim yang sudah sepuh. akhirnya Mbah Nur salim memboyong KH Hasyim Rofi’I untuk membantu mengembangkan pondok pesantren Darumafatihil Ulum dalam bidang pendidikannya.
Fase pengembangan ke III ditandai meluasnya daerah dan bidang kerja pondok pesantren serta pemantapan lembaga-lembaga yang berada di bawah naungan pondok pesantren. pertama, pembangunan dalam system kurikulum madrasah ibtidaiyah. setelah pembangunan ibtiiayah selesai, system kurikulumnya masih belum tertata akhirnya KH. Hasyim Rofii membawa santrinya waktu masih mondok di bendo Kediri yang juga merupakan pondoknya KH. Djasim Nur ke pondok pesantren yaitu Gus Basuni yang berasal dari jember, Gus Basuni inilah yang di suruh membenahi kurikulum Pondok Pesantren DMU oleh KH. Hasim Rofii agar dikiblatkan kepondok pesantren bendo Kediri seperti alfiah ibnu malik, matan jurmiah, qowaidul I’rob dan lain lain. KH. Hasim Rofii juga mendatangkan Pak Sodik santri dari Sidogiri Pasuruan yang mana pondok pesantren tersebut sudah lebih dulu maju untuk membenahi kurikulum DMU seperti faroid dan mantek.
sumber: ponpesdmu.blogspot.co.id