Kalau Anda berada di daerah yang siangnya lebih dari 20 jam, ambillah salah satu dari tiga sikap puasa ini:
- Tetap puasa dari terbit fajar sampai maghrib. Tak peduli itu 20 atau 22 jam.
- Samakan waktu puasa dengan negara terdekat
- Samakan lama puasa dengan Makkah.
Puasa 20 jam per hari selama sebulan itu ndak gampang. Apalagi bila Anda harus menguras tenaga untuk bekerja. Bila suatu hari Anda terpaksa bolong, saya takkan mencemooh Anda. Saya memaklumi. Sebagaimana saya meminta Anda memaklumi umat Islam suatu negeri.
Konon, ada negara dengan jumlah muslim terbesar yang puasanya hanya 14 pun banyak yang mokah tanpa malu-malu lagi. Mungkin kami terlalu lelah berdebat kapan 1 Ramadhan, tarwih 11 atau 23 rakaat, tarwih 2 rpm (rokaat per minute) itu sah atau tidak? Kolak itu diaduk searah atau berlawanan arah jarum jam? Bahkan saat beli kolak pun mereka meributkan pronounciationnya: Kola’, qolaq, atau kholaq? Ramadan, Romadhon, Ramadhan, atau Ra-Madang? Tarwih, tarawih, atau ntar-waeh?
Kami juga sibuk nggedabrus warung itu harus buka atau tutup saat Ramadhan. Tahu-tahu kami sudah nongkrong di warung aja. Ternyata sebagian kami minta warung dipasangi tirai saat Ramadhan. Bukan untuk menghormati mereka yang puasa. Tapi untuk melindungi kami yang mokah. Meski kami cukup ndugal, kami tetap. Mbatal puasa tanpa alasan syar’i adalah aurat yang harus ditutupi.
Harap maklum, kamilah orang-orang Islam yang lahir di negara yang ramah dengan Islam. Alamnya juga asyik. Durasi siang – malam hampir sama sepanjang tahun. Tidak seperti alam Anda yang kejam. Musimnya berganti-ganti sehingga Anda harus memikirkan strategi hidup sematang mungkin. Salah perhitungan, peralatan, binasalah Anda.
Tidak seperti kami yang serba mudah. Tongkat aja bisa jadi tanaman. Di negara kami, Ramadhan akan disambut meriah. Pihak kapitalis mendekor mal-malnya dengan atribut-atribut Islami dan diskon yang syar’i. Kaum sosialis gembira karena bisa menebar pesan; “Puasa adalah latihan sama lapar sama rata.” Kaum liberal? Anda bisa cari-cari sendiri polah tingkahnya di twitter.
Dan dengan segala kemudahan untuk beribadah, kami takkan sempat memikirkan kerumitan-kerumitan Anda.
Kami adalah orang yang uripnya gampang, ibadahnya enak. Kami terbiasa berkata,”Alhamdulillah, di Indonesia mau jilbaban gampang.”, “Alhamdulillah, di Indonesia umat Islam tidak dibantai.”
Kami takut iman kami luntur bila mulai memikirkan saudara-saudara kami yang jam kerjanya melabrak waktu sholat. Kami khawatir keyakinan kami goyah mengetahui bahwa banyak pemurtadan di sana-sini.
Nikmat sekali jadi umat Islam di negeri kami. Dan untuk mensyukuri nikmat itu, tidak ada pilihan lain selain terlena. Berleha-leha, bermewah-mewah meski utang, adalah cara kami. Dicontohkan oleh Ustadz-ustadz yang kami lihat di TV. Dengan bahagia mereka menunjukkan jam tangan mahal mereka, mobil mewah keluarga, dan rumah-rumah bak istana mereka. Alhamdulillah membuat kami lupa gubug-gubug, kakek-nenek kelaparan, dan segala ciri kemiskinan. Ah, berkahnya hidup kami.
Dan benarlah, siapa bersyukur, ditambahlah nikmatnya. Kami bersyukur dengan hidup glamor dan bermalas-malasan. Dan Alhamdulillah hidup kami makin nikmat. Bukankah semakin lupa penderitaan orang, semakin nikmat hidup ini?
Kami sarankan Anda pindah ke sini. Di sini umat Islam begitu selo sehingga kami sempat menata jilbab bergulung-gulung sampai mirip pocong. Waktu kami cukup senggang untuk bermain-main dengan gagasan pluralisme dan liberalisme. Saking santai dan berkahnya keimanan kami, kami betah berdiskusi soal ucapan natal, 1 ramadhan, LGBT, tarwih, termasuk saat ini. Kami masih punya waktu untuk mengulang hal-hal yang tadi sudah disampaikan.
Jadi, silakan pindah kesini segera.
Sebelum kami ingat perjuangan generasi sebelum kami. Pada era itu, berjilbab saja sudah dicap subversif. Pada era itu, kakek nenek kami yang waktu masih muda, masih sibuk berperang meski puasa. Karenanya, tak sempat bahas remeh temeh seperti kami.
Kami sadar kok. Sebenarnya kami cukup perlu lebih produktif. Menyibukkan diri pada urusan-urusan penting dan hal-hal besar. Maka kami takkan sempat mengurusi tetek bengek seperti ini. Apa sih faedahnya mengurusi tetek yang sudah bengek?
Tapi itu nanti saja. Tunggu sampai negara kami diubah seperti negara Anda. Alamnya dijadikan rumit sehingga mendorong kami untuk berpetualang mencari wilayah lain. Hutannya dijadikan gundul sehingga di bumi tak tersisa pemandangan. Lalu, kami akan terdorong memikirkan cara untuk terbang ke bulan. Kami juga akan menunggu umat Islam dicabik-cabik, dihabisi. Atau sudah?
Di sana kami akan mulai memikirkan,”Bagaimana sholat di bulan?”, “Bagaimana puasa di saat kelaparan di tengah gurun?”. Di sana solidaritas kami akan menjadi sejati. Merasa bahagia betul kalau ketemu wong Islam. Salamnya salam beneran. Kangennya kangen beneran. Anda yang pernah merantau lalu mendadak ketemu temen sedaerah, atau malah keluarga pasti pernah merasakannya.
Tapi itu nanti…..
Di sini, kami masih sempat mbahas tarwih kilat yang dianggap ngawur. Sedikit lagi dicap sesat. Selain mencederai rukun tuma’ninah dan mengkhianati makna tarwih (istirahat), tarwih kilat juga berarti mengkufuri nikmat selo bagi umat Islam negeri ini. Kami wong Islam selo. Sholat itu khusyu, bukan kesyusyu…
Kami lupa berbaik sangka. Pendiri tarwih kilat itu mungkin berijtihad. Melihat umat Islam 160 tahun lalu belum siap diajak sholat. Apalagi tarwih yang mestinya santai. Dua puluh rekaat pula. Anda pasti tahu, sahabat nabi ada yang diprotes umat karena sholatnya kelamaan. Maka, mempercepat sholat adalah pintu masuk ke umat Islam waktu itu. Tentu dengan harapan generasi berikutnya akan memperbaiki kualitas sholatnya.
Penerus tarwih kilat juga lupa berpikir ulang. Sholat itu nyonto nabi. Tidak hanya tradisi. Sehingga tarwih kilat bisa berubah jadi tarwih nikmat.
Dan melihat keadaan Anda yang harus puasa 22 jam, kami terpikir ide sederhana. Kami akan mengekspor alumni tarwih kilat ke negara Anda. Melatih bagaimana sholat 2 rokaat permenit. Setelah sehari penuh puasa, diperbolehkan sholat ngebut adalah kabar gembira tentunya bagi Anda.
Ternyata, sholat kilat adalah solusi bagi Anda, bukan?
Oya, Anda tak perlu melatih kami puasa 22 jam. Bukan karena kami tak kuat atau tak siap. Justru kami sangat siap. Kami akan mbatal saja di setengah bulan. Lalu menggantinya di waktu-waktu berikutnya. Misalnya saat winter di mana siang hari bisa cuma 4 jam.
https://pikiranpojok.wordpress.com