Portalarjuna.net, Pasuruan – Industri startup di Indonesia tengah memasuki fase penting dalam dinamika pertumbuhannya. Setelah beberapa tahun mengalami lonjakan investasi, kini para pelaku industri menghadapi kenyataan baru: gelombang penurunan pendanaan yang signifikan.
Menurut laporan DSInnovate dan DailySocial.id, sepanjang 2023, total pendanaan startup Indonesia turun lebih dari 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak investor global menahan dana akibat kekhawatiran makroekonomi, risiko geopolitik, serta efek lanjutan dari era bubble teknologi pasca-pandemi.
“Tren tech winter belum sepenuhnya berakhir. Kami melihat investor makin selektif. Mereka mencari startup dengan fundamental kuat, bukan sekadar cerita menarik,” jelas Andri Setiawan, analis dari Digital Insight Institute.
Situasi ini memaksa banyak startup mengubah pendekatan bisnis. Jika sebelumnya mereka gencar membakar modal untuk memperbesar pasar dan mengejar valuasi, kini mereka lebih berhati-hati. Efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan menjadi kunci baru untuk bertahan.
Tata Kelola dan Profit Jadi Prioritas
Salah satu contoh startup yang beradaptasi dengan situasi ini adalah Tanihub 2.0, platform agritech yang sempat merombak model operasinya pada 2022. Di tahun 2024, perusahaan tersebut melaporkan berhasil mencapai titik impas operasional (break even) untuk pertama kalinya.
“Kami tidak lagi mengejar pertumbuhan cepat semata,” ungkap CEO Tanihub, Dian Marta. “Sekarang kami lebih menekankan manajemen risiko, tata kelola internal yang jelas, dan pengendalian biaya operasional. Semua itu kami lakukan karena investor saat ini menuntut hasil nyata.”
Perubahan ini tidak hanya datang dari sisi startup. Para venture capital (VC) seperti East Ventures dan Alpha JWC Ventures juga turut mendorong perubahan arah ini. Mereka lebih aktif dalam memberikan bimbingan strategis, termasuk dalam penataan struktur organisasi dan manajemen risiko.
“Investor saat ini lebih dari sekadar pemberi modal. Kami juga berperan sebagai partner strategis,” ujar Farah Aulia, mitra investasi di Archipelago Ventures. “Kami ingin portofolio kami mampu bertahan jangka panjang dan menciptakan nilai, bukan hanya tampil mencolok di awal.”
Adaptasi Praktis di Lapangan
Startup yang berhasil bertahan cenderung melakukan lima hal utama:
1.Menata ulang struktur keuangan
2.Mengurangi ekspansi berlebihan
3.Memperkuat sistem kontrol internal
4.Meninjau kembali segmentasi pasar
5.Membuka jalur pendapatan baru yang lebih stabil
Langkah-langkah ini mulai diterapkan oleh banyak startup tahap awal dan menengah.
Bahkan beberapa inkubator bisnis kini mewajibkan peserta program akselerasinya memiliki rencana pengelolaan risiko serta proyeksi arus kas positif dalam 12-18 bulan ke depan.
Sektor yang Bertahan dan Masih Diminati
Di tengah tantangan ini, ada beberapa sektor startup yang tetap menunjukkan ketahanan. Di antaranya:
Agritech : karena menyentuh kebutuhan pangan dan distribusi
Logistik digital : seiring peningkatan e-commerce dan belanja daring
Health-tech :karena kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan berbasis digital meningkat
SaaS dan layanan B2B :karena lebih mudah dipantau dan memberikan recurring income
Investor cenderung lebih percaya pada startup yang beroperasi di sektor-sektor ini karena dinilai berbasis kebutuhan dasar dan memiliki model bisnis lebih terukur.
Dari Unicorn Menuju Impact Company
Dinamika terbaru ini menciptakan perubahan paradigma dalam ekosistem startup. Visi besar untuk menjadi unicorn tampaknya tidak lagi menjadi satu-satunya tujuan.
Banyak startup kini mulai membangun identitas baru: menjadi “impact-driven company” perusahaan yang tidak hanya tumbuh besar, tetapi juga menciptakan nilai sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kestabilan ekonomi lokal.
“Dulu semua bicara valuasi, sekarang orang bicara dampak. Kita sedang menyaksikan evolusi startup yang lebih dewasa,” kata Dr. Nirmala Kusumawardhani, pakar ekonomi digital dari Universitas Gadjah Mada.
Perubahan ini juga memengaruhi cara media, komunitas teknologi, dan masyarakat umum memandang dunia startup. Kisah-kisah sukses kini tidak lagi didominasi oleh ekspansi agresif, tetapi juga oleh cerita bagaimana perusahaan kecil mampu bertahan, beradaptasi, dan menciptakan solusi nyata.
Dengan tren pendanaan yang melambat, tahun 2025 menjadi momen penting dalam sejarah ekosistem startup Indonesia. Ini bukan sekadar masa sulit, tapi kesempatan menyusun ulang fondasi industri digital nasional.
Para pendiri startup ditantang untuk berpikir ulang: apakah mereka membangun perusahaan demi pertumbuhan jangka pendek, atau demi kontribusi jangka panjang? Dan yang paling penting, bisakah mereka tetap relevan tanpa mengorbankan keberlanjutan dan tata kelola?
Waktu akan menjawab, tapi satu hal pasti startup masa depan Indonesia tidak hanya harus cerdas secara teknologi, tapi juga matang secara tata kelola.
Author : Abdul Mu’id