Pasuruan, Jawa Timur
Jumat, 29 Maret 2024

HIV-AIDS, PERSPEKTIF PSIKOLOGI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Portalarjuna.net-Psikologi memiliki peranan disetiap tahapan penyakit, mulai dari proses terbentuknya serangan penyakit, perkembangan penyakit sampai konsekuensi psikologisnya untuk mencapai umur panjang. Banyak literature-literatur yang memberikan gambaran terkait adanya hubungan factor psikologis dengan terbentuknya penyakit-penyakit kronis dan akut seperti halnya HIV-AIDS, cancer, obesitas, jantung coroner dan penyakit akut lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa, penyakit kronis tidak hanya bisa dilihat dari factor biomedis saja melainkan adanya proses interaksi yang kompleks antara factor fisiologis dan psikologis. Tidak semua orang yang terkena virus HIV berkembang menjadi HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa, factor psikologis berpengaruh terhadap kerentanan individu pengidap HIV.
Kata Kunci: HIV-AIDS, Perspektif Psikologi


PENDAHULUAN

HIV merupakan virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS bukanlah penyakit khusus melainkan kumpulan dari sejumlah penyakit yang mempengaruhi tubuh dimana sistem kekebalan yang melemah. AIDS merupakan fase terakhir dari infeksi HIV dan biasanya dicirikan oleh jumlah CD4 kurang dari 200. Penularan HIV terutama terjadi karena perilaku masyarakatnya seperti hubungan seksual bebas dan penggunaan jarum suntik secara bergantian.

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan tahun 2000-2015 menunjukkan angka pengidap HIV-AIDS di Kabupaten Pasuruan sebanyak 984 orang. Kasus HIV-AIDS ini lebih banyak di dominasi usia produktif yakni antara 22-29 tahun sebanyak 31%. Dilihat dari jenis kelamin pengidap terbesar HIV-AIDS diderita oleh kaum pria dengan prosentase mencapai 58%. Hal ini berbanding lurus dengan kasus HIV-AIDS yang terjadi pada ibu rumah tangga sebesar 16%. Jumlah ini lebih besar jika dibanding Penjaja Seks Komersial (PSK) sebesar 14%. Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan juga menjelaskan factor penularan HIV-AIDS terbesar karena perilaku heteroseksual yang mencapai angka 64%.

Semakin meningkatnya angka penderita HIV-AIDS tentu tidak terlepas dari sikap individu terhadap AIDS. Hasil penelitian dari Abrams et al. (1990) menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan tentang penularan HIV sangat tinggi, namun banyak dari individu yang melaporkan dirinya kebal terhadap HIV. Individu yang meyakini dirinya kebal terhadap HIV melibatkan persepsi bahwa mereka memiliki  control atas resiko dari sikap yang mereka ambil. Sedana dengan Woodcock et al. (1992) mengatakan bahwa tidak sedikit remaja yang memiliki pengetahuan tentang HIV-AIDS, menyangkal bahwa mereka beresiko terhadap AIDS.

Bidang Kesehatan mengasumsikan bahwa dengan meningkatkan pengetahuan tentang HIV-AIDS akan dapat mengubah sikap dan perilaku seksual individu. Namun di satusisi Bidang Kesehatan juga mengkampanyekan terkait dengan “seks yang lebih aman (penggunaankondom)”. Dengan demikian apakah meningkatkan pengetahuan sebenarnya meningkatkan praktek seks yang lebih aman?.

Adanya pengetahuan, pendidikan, pengalaman pribadi dan sikap diharapkan akan berdampak pada perubahan perilaku individu. Namun tidak demikian pada perilaku seks individu karena mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat melakukan sesuatu (safety / penggunaan kondom) untuk menekan kerentanan terhadap HIV-AIDS, biarpun yang demikian tidak menjamin keamanan mereka terbebas dari HIV-AIDS. Temoshok et al. (1987) melaporkan  bahwa pengetahuan resiko terkena HIV-AIDS tidak merubah perilaku seksual individu namun mereka memiliki ketakutan. Hubungan antara pengetahuan, sikap, perilaku dan keyakinan terhadap HIV-AIDS ini sangatlah kompleks. Oleh karena itu mengkampanyekan “seksaman” mungkin lebih rumit daripada sekedar menigkatkan pengetahuan.

 

Psikologi  dan Kerentanan Terhadap Virus HIV

Individu dengan HIV sangatlah rentan dengan masalah psikologis misalnya perasaan tidak berdaya, putus asa, sedih, depresi, ketakutan, kekhawatiran dan hilangnya dukungan social. Masalah-masalah tersebut akan berdampak pada system kekebalan tubuh. Jika system kekebalan tubuh mulai melemah akan memudahkan virus berkembang dalam tubuh individu. Ketika seseorang menderita stres tubuhnya bereaksi dan membangkitkan tanda bahaya sehingga memicu terjadinya beragam reaksi biokimia di dalam tubuh: kadar adrenalin dalam aliran darah meningkat, penggunaan energi dan reaksi tubuh berada pada puncak tertinggi, tekanan darah meningkat dan denyut jantung mengalami percepatan (Edward A. Charlesworth& Ronald, 2006). Kondisi yang seperti ini akan membuat reproduksi hormon dalam tubuh tidak stabil dan memungkinkan beragam serangan penyakit terjadi karena melemahnya system kekebalan tubuh. Virus-virus tersebut memanfaatkan kesempatan ini (lemahnya kekebalan tubuh) untuk menyerang tubuh sehingga menyebabkan infeksi oportunistik.

Hasil penelitian Sodroski et al. (1984) mengemukakan bahwa stress jugadapat meningkatkan replikasi virus HIV, menyebabkan perkembangan lebih cepat untuk menuju AIDS. Penelitian ini juga didukung Solomon & Tomoshok et al. (1987) yang berpendapat bahwa penghindaran social menyebabkan stress pada individu yang terjangkit HIV, yang dapat memperburuk penyakit mereka. Namun tingkat perkembangan penyakit tidak konsisten pada semua orang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang / individu memiliki tingkat stressor yang berbeda-beda karena setiap individu memiliki gaya penyelesaian masalah masing-masing. Semakin orang mampu menerima kondisi penyakitnya maka semakin menghambat tingkat penyebaran penyakitnya.

Yang tidakkalah pentingnya lagi adalah adanya dukungan social bagi penderita HIV akan dapat mengurangi masalah psikologis mereka. Dengan adanya dukungan social maka penderita HIV akan menemukan kebahagiaan dan menumbuhkan kepercayaan dirinya yang sempat hilang. Carr, 2004 mengungkapkan sedikitnya afek positif (seperti kebahagiaan) yang dirasakan berhubungan dengan banyaknya gangguan psikologis yang ada. Oleh karena itu, dukungan social diharapkan dapat menumbuhkan rasa kebahagiaan pada penderita HIV. Ketika individu menjalani kehidupannya dengan kebahagiaan maka hal ini juga akan berpengaruh pada system reproduksi hormone yang berdampak pada kestabilan kekebalan tubuhnya.

Ditulis Oleh: Nanik Khollifah, S.Psi.M.Si

Dosen Ilmu Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tulisan Terakhir

Advertorial