Portalarjuna.net, Pasuruan – Di sebuah desa kecil bernama Parerejo, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan, aroma kedelai rebus bukanlah sesuatu yang asing. Hampir setiap rumah di desa itu memiliki kedekatan dengan tempe bukan sekadar makanan, tetapi warisan yang menghidupi. Di tengah denyut kehidupan desa, satu nama tumbuh dengan visi berbeda. Muhammad Irfan, pengrajin tempe generasi keempat, menapaki jalan yang membawa tempe keluar dari sekat tradisi dan menuju panggung inovasi.
Sejak kecil, Irfan telah akrab dengan tungku, rebusan kedelai, dan lembaran daun pisang yang menjadi pembungkus tempe. Namun, bertahun-tahun bergelut dengan proses yang sama menumbuhkan gagasan baru dalam benaknya. Ia melihat bahwa tempe, meski akrab di lidah masyarakat, belum sepenuhnya mendapat tempat istimewa di ranah industri kuliner. Dari sinilah tekadnya tumbuh—mengangkat tempe sebagai produk bernilai tinggi, tanpa harus melepaskan akarnya.
Irfan mulai membangun usahanya dari rumah. Ia menamai tempat produksinya Omah Edukasi Tempe, bukan sekadar dapur pengolahan, tetapi ruang belajar. Di dalamnya, tempe bukan hanya hasil akhir, tetapi bagian dari proses panjang yang bisa diceritakan. Anak-anak sekolah, mahasiswa, hingga pengunjung dari berbagai daerah datang dan belajar. Mereka melihat langsung bagaimana kedelai diolah menjadi makanan bernutrisi dengan cara yang bersih dan tetap alami.
Dari ruang sederhana itu, Irfan mengembangkan lini produk yang berbeda. Ia merintis tempe premium yang dikemas secara modern, diproduksi dengan alat bantu higienis, dan dipasarkan ke restoran serta rumah makan. Ia memberi nama produknya Ziko, simbol dari upaya membentuk citra tempe sebagai produk layak konsumsi kalangan menengah ke atas. Dengan strategi ini, tempe tak hanya diposisikan sebagai makanan rakyat, tapi juga produk kuliner yang bisa bersaing di pasar modern.
Namun inovasi Irfan tidak berhenti di satu produk. Bersama komunitas pengrajin, ia menciptakan beragam olahan berbasis tempe: dari keripik, nugget, hingga es krim. Kreativitas ini bukan sekadar menambah variasi, tapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi warga desa. Di tengah keterbatasan alat dan modal, semangat untuk terus berinovasi menjelma menjadi kekuatan kolektif.
Sebagai tokoh yang dipercaya memimpin paguyuban pengrajin tempe di Parerejo, Irfan juga membangun kerja sama dengan berbagai pihak. Ia mendorong pelatihan, menginisiasi pengolahan limbah produksi menjadi bahan pangan baru, dan aktif membuka ruang kolaborasi dengan institusi pendidikan serta UMKM lainnya. Semua langkah itu diarahkan untuk memperkuat ekosistem tempe sebagai bagian dari pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Meski mendapat dukungan dari lingkungan sekitar, Irfan tetap menjalankan Omah Edukasi Tempe secara mandiri. Usaha ini ia kelola sebagai unit UMKM, berlandaskan pengalaman, kedisiplinan, dan pemahaman terhadap kualitas. Di tengah naik turunnya harga bahan baku, keterbatasan sumber daya, dan persaingan pasar, ia tetap bertahan. Ketekunan dan keberaniannya untuk mengembangkan tradisi menjadi keunggulan membuat usahanya tumbuh secara konsisten.
Hari ini, Kampung Tempe Parerejo tak hanya dikenal sebagai sentra produksi makanan tradisional, tetapi juga sebagai destinasi edukatif dan simbol inovasi desa. Di balik reputasi itu, jejak Irfan terpatri sebagai pelopor perubahan. Ia berhasil membuktikan bahwa dari dapur sederhana di pelosok Pasuruan, lahir produk yang mampu menjangkau pasar luas, menciptakan nilai tambah, dan menjaga identitas lokal tetap hidup.
Perjalanan Irfan adalah kisah tentang bagaimana sesuatu yang dianggap biasa bisa menjadi luar biasa, ketika dijalankan dengan visi, dedikasi, dan keberanian untuk berubah. Tempe yang dulu hanya dikenang sebagai pangan harian kini berdiri sejajar sebagai produk unggulan. Dan dari desa kecil itu, cerita tentang tempe dan tentang Irfan terus mengalir, menjadi inspirasi bagi banyak usaha kecil di seluruh penjuru negeri.
Author : Ferdina – Dimas – Mudhofar (KTP-Team)